BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam dekade tahun 2000 ke atas dunia kebudayaan khususnya kesenian mengalami suatu perubahan-perubahan yang sangat mencolok utamanya dalam masalah aktivitas cipta, ide, dan penggarapan kesenian. Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap perkembangan berkesenian di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Baik itu perkembangan yang bersifat positif maupun perkembangan yang bersifat negatif. Penyebabnya bukan mutlak bersumber dari dunia kesenian, akan tetapi bersumber pada pengaruh global yang terjadi pada dunia modern ini. Pengaruh perubahan ini sangat berdampak pada semua sudut kehidupan, termasuk juga pada dunia kesenian. Begitu gencarnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebabkan semua sendi kehidupan mengalami suatu perkembangan yang cukup pesat pula. Sehingga tampak terjadi perombakan atau perpaduan yang bertujuan untuk mencari suatu kepuasan hati bagi seniman. “Mereka juga dituntut untuk memenuhi kepentingan penikmat seni yang telah terkontaminasi oleh pola kehidupan yang liberal atau individualisme dan juga kehidupan yang mewah” (Yudabakti, 2007 : 1). Sehingga dengan terpaksa mereka mengacu pada perkembangan jaman yang sangat rentan untuk berubah setiap saat. Tanpa mengikuti pola kehidupan ini mereka merasa tertinggal oleh perkembangan jaman.
Bertitik tolak dari fenomena yang terjadi saat ini, utamanya pada kehidupan berkesenian. Dari permasalahan ini kita akan banyak tahu apa yang terjadi pada dunia seni di Bali yang telah tertata dengan apik dan sesuai dengan kultur ketimuran serta dibingkai oleh norma-norma agama dan budaya kehinduan yang sangat kental. Sehingga Pulau Bali merupakan pulau yang terkenal ke seluruh pelosok dunia, hal ini tidak hanya disebabkan oleh keindahan alamnya, tetapi lebih dari itu Bali lebih banyak menarik perhatian dunia karena seni budayanya. “Bali merupakan pulau yang penuh kebahagiaan di mana musik, tari dan drama tidak hanya dicintai oleh semua orang tetapi merupakan sesuatu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan keagamaan” (Mandra, 1995 : 21), terbukti semakin menjamurnya pementasan seni sakral dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan diiringi dengan perkembangan kehidupan perekonomian yang semakin membaik. Seni budaya Bali yang ditandai oleh kebudayaan Hindu, merupakan warisan budaya yang unik, di dalamnya terdapat perpaduan antara unsur kebudayaan kuno dengan kebudayaan Hindu yang datang dari India melalui Jawa. “Di duga masuknya Hindu dari Jawa ke Bali yakni antara abad ke-X sampai pada abad ke-XVI” (Artika, 1990 :125). Di dalam seni budaya ini selain faktor seni gamelan, seni bangunan, seni ukir, dan seni lukis, seni tari merupakan suatu aspek penting dari kesenian di Bali.
Berbicara tentang seni Bali atau kesenian Bali, maka secara tidak langsung akan terkait dengan nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya, karena lestarinya budaya Bali atau kesenian Bali disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah faktor agama, di mana faktor agama atau nilai-nilai agama ini menjiwai kebudayaan atau kesenian Bali yang ada, demikian pula sebaliknya, ajegnya Agama Hindu di Bali disebabkan oleh dukungan budaya atau kesenian Bali terhadap Agama Hindu tersebut. Agama Hindu dan budaya atau kesenian Bali dapat diibaratkan seperti dua utas benang yang terikat satu sama lain, yang sulit untuk dilepaskan.
“Upacara yang dilakukan oleh umat Hindu sering disebut dengan yadnya atau lazim dikenal dengan upacara yadnya, di mana upacara yadnya ini sesungguhnya berarti pemujaan, persembahan korban suci, upacara korban”(Tim penyusun,1995:5). “Di dalam kitab Bhagawad Gita, yadnya artinya sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melakukan persembahan kepada Tuhan”(Tim penyusun,1995:5). Yadnya terdiri atas lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya persembahan dengan sesajen dan mengucapkan sruti dan stawa pada waktu bulan purnama, Rsi Yadnya yaitu mempersembahkan punya berupa buah-buahan, makanan dan barang-barang yang tidak mudah rusak kepada para Rsi, Bhuta Yadnya yaitu mempersembahkan tawur dan caru kepada para bhuta kala, Manusia Yadnya adalah bersedekah kepada masyarakat dan Pitra Yadnya menghormati dan mendengarkan dengan baik dan nasehat-nasehat orang tua dan juga mengabdi kepada Beliau (Tim penyusun, 1995:14). Kelima macam yadnya tersebut dalam proses pelaksanaannya haruslah didukung oleh sarana dan prasarana, atau dapat dikatakan memiliki unsur pelengkap agar upacara yadnya tersebut bisa berjalan dengan sempurna guna mencapai tujuan yang diinginkan yakni keseimbangan alam semesta beserta isinya. Unsur-unsur pelengkap tersebut antara lain: berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan kemenyan yang wangi semerbak dan puja astawa sulinggih, suara kidung, tabuh dan gamelan yang meriah, dan berbagai atraksi seni religius lainnya.
Unsur suara dan unsur tari merupakan unsur pokok di samping unsur utama seperti sesajen. Puja astawa sulinggih, suara genta, kidung, gong, tabuh, gamelan, dan tarian yang semuanya memiliki nilai atau makna yang sama pentingnya satu dengan yang lain dalam mendukung suatu upacara atau yadnya. Namun dalam pelaksanaan upacara yadnya di Bali antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, pelaksanaannya tidak sama atau mengikuti aturan yang mutlak, atau dapat dikatakan bahwa pelaksanaan upacara yadnya yang didukung oleh sarana dan prasarana atau unsur pelengkap tersebut disesuaikan dengan waktu, daerah, atau keadaan yang di Bali dikenal dengan desa, kala, dan patra. Demikian pula keunikan yang terjadi disalah satu daerah di timur Bali tepatnya di desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pelengkap upacara yadnya dari unsur tarian tersebut adalah sebuah tarian yang bernama tari Lelegongan, yang berbeda dengan tarian yang lainnya. keunikan yang ada dapat dilihat dari unsur penarinya yaitu yang menarikan adalah seorang wanita yang sudah menikah. Dan juga dari unsur tariannya yaitu ditarikan dengan gerakan yang lambat dan sederhana tetapi berirama dan gerakan ini tidak pernah dipelajari oleh para penari. Para penari membawa beberapa sarana-sarana seperti canang burat wangi, air, tuak, arak, berem dan sarana-sarana yang lainnya. Dari keunikan ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai nilai pendidikan yang ada dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Hal inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk mengangkatnya ke dalam tulisan ilmiah atau karya tulis ilmiah yang mengambil judul “NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TARI LELEGONGAN PADA PIODALAN DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN CULIK KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM”
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas tentang Tari Lelegongan maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1.2.1 Masih ada anggota masyarakat yang belum tahu tentang sejarah Tari Lelegongan yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.2.2 Masih ada anggota masyarakat yang belum tahu tentang bentuk Tari Lelegongan yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.2.3 Masih ada anggota masyarakat yang belum tahu tentang fungsi Tari Lelegongan yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.2.4 Masih ada anggota masyarakat yang belum tahu tentang makna Tari Lelegongan yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.2.5 Masih ada masyarakat yang belum tahu tentang nilai-nilai pendidikan dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.2.6 Masih ada anggota masyarakat yang belum tahu tentang upaya pelestarian Tari Lelegongan yang berada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.3 Pembatasan Lingkup Penelitian
Bila dilihat secara seksama dan mendalam cakupan penelitian itu cukup luas. Tetapi mengingat keterbatasan penulis sebagai peneliti pemula baik itu dari segi pengalaman, penguasaan teori, maupun sumber–sumber informasi dan kepustakaan yang terbatas penulis miliki sehingga penelitian ini akan penulis fokuskan pada kajian :
1.3.1 Bentuk Tari Lelegongan pada upacara Piodalan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.3.2 Fungsi Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.3.3 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam Tari Lelegongan yang ada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Khususnya nilai filsafat, nilai etika dan nilai upacara.
1.3.4 Upaya pelestarian Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.4 Rumusan Masalah
Dalam memecahkan suatu masalah, permasalahannya harus dirumuskan terlebih dahulu. Sesuai dengan judul skripsi ini yakni Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Tari Lelegongan Pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, maka permasalahan yang di kemukakan sebagai berikut :
1.4.1 Bagaimanakah bentuk Tari Lelegongan pada upacara Piodalan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ?
1.4.2 Apakah fungsi Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ?
1.4.3 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dari pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ?
1.4.4 Usaha apa yang dapat diupayakan untuk pelestarian Tari Lelegongan Pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ?
1.5 Tujuan Penelitian
Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud adalah suatu tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan yang dilakukan. Suatu penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh tujuan itu sendiri. Tujuan merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam penelitian . ”Adapun tujuan penelitian terdiri dari dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus” (Husani dan Stiadi , 1996:29).
1.5.1 Tujuan Umum.
Tujuan penelitian ini bagi mahasiswa adalah sebagai bahan perbandingan antara teori yang diterima di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan, di samping sebagai satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Jurusan Ilmu Pendidikan Agama Hindu STKIP Amlapura. Sedangkan bagi masyarakat Desa Pakraman Culik nantinya diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman dan acuan guna menambah wawasan tentang nilai pendidikan agama Hindu dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Desa Culik. Serta bagi lembaga STKIP Agama Hindu Amlapura sebagai perbendaharaan perpustakaan sehingga dapat dipakai sebagai bahan perbandingan bagi yang memerlukannya.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bentuk Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
2. Untuk mengetahui fungsi Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
3. Untuk mengetahui Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Yang terkandung dalam pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan Di Pura Puseh, Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
4. Untuk mengetahui upaya pelestarian Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah teori-teori keilmuan dan juga dapat memberikan informasi yang lengkap dan jelas tentang keberadaan Tari Lelegongan di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
1.6.2 Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian yang diperoleh nantinya diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem dan masyarakat mengetahui fungsi serta nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Nilai
Dalam usaha memberikan gambaran mengenai pengertian nilai, maka tidak mungkin terlepas dari sumber–sumber yang obyektif. “Nilai sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bersumber dan diperoleh dari data yang ada serta mengandung suatu kebenaran sesuai dengan sudut pandang dari mana dikaji masalah tersebut” (Musna,1994 : 2 ). Dimana nilai merupakan salah satu faktor utama dalam mewujudkan tata laksana dalam suatu pergaulan masyarakat maupun membina keluarga. Jadi nilai sangat penting artinya dalam suatu kehidupan, sebab nilai tersebut mampu memberikan arah tujuan dan petunjuk dalam menuangkan inspirasi kehidupan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa “Nilai berarti sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, misalnya nilai Agama, yang perlu diindahkan dalam kehidupan” (Poerwadarminta, 1995: 690). Selanjutnya dalam kamus Pendidikan dijelaskan nilai artinya “segala sesuatu yang berharga dalam kehidupan manusia” (Vembiarto, 1994 : 42).
Dari pendapat di atas dapat diuraikan bahwa nilai berarti suatu penghargaan yang penting dianggap baik dan benar dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya menurut Louis O Kattsoff (Dalam Ghoni, 1982:45), mengemukakan bahwa nilai mempunyai empat macam arti, yaitu: 1) Bernilai artinya berguna, 2) Merupakan nilai artinya baik atau benar atau indah, 3) Mengandung nilai artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang menimbulkan sikap setuju serta, 4) Memberi nilai artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan atau menunjukkan nilai.
Menurut Notonagoro (dalam Darmodiharjo,1981:50), ”sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila sesuatu itu berguna benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral), religius (nilai agama)”. Sehingga Beliau membagi nilai menjadi:
1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia, 2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas, 3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1) Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur akan manusia (ratio, budi, cipta). 2) Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevael, perasaan, esthetis). 3) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, karsa, ethic). 4) Nilai religius yang merupakan nilai ke-Tuhan-an, kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan/keyakinan manusia (Darmodiharjo,1981:51).
Dari pendapat di atas, dapat diuraikan bahwa nilai berarti suatu standar harga, ukuran, dan menyatakan sifat-sifat yang berguna serta memiliki arti komplit sesuai dengan kata yang mendukung dalam kalimat.
2.2 Pengertian Pendidikan
Para ahli memberikan rumusan tentang pendidikan yang berbeda-beda, ada yang memberi rumusan dalam arti yang sempit dan rumusan dalam arti luas. Para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan juga mendefinisikan pengertian pendidikan itu dengan bermacam-macam pengertian. Tetapi pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama, walaupun demikian hal ini bukan berarti perumusan pengertian pendidikan itu didefinisikan yang sama tetapi mempunyai perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsip. Dimana para pakar pendidikan masing-masing mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda tentang pengertian pendidikan.
“Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani yakni paedagogiek yang terdiri dari kata yaitu pai yang artinya anak dan gogos yang artinya membimbing serta lek artinya ilmu. Jadi paedagogiek adalah ilmu yang membicarakan bagaimana memberikan bimbingan kepada anak”(Hartati, dkk,1982: 1).
Sehubungan dengan pengertian istilah tersebut di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat dari para sarjana sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia (Darmodiharjo, 1981: 4). Sedangkan Poerwadarminta (dalam Darmodiharjo,1981: 250) menjelaskan bahwa:
Pendidikan berasal atau mempunyai kata dasar didik yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya dari kata didik memperoleh awalan pe- dan akhiran -an, sehingga terjadi kata bentuk pendidikan yang berarti perbuatan untuk melakukan didik atau perbuatan untuk mendidik.
Beberapa definisi tersebut di atas pada hakekatnya pendidikan itu mengandung aspek-aspek yang sama yaitu usaha membimbing dan menumbuhkan rasa percaya diri dari orang yang mendapat pendidikan, mengingat pendidikan sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga benar-benar merupakan fundamental yang kokoh untuk menuju suatu cita-cita bangsa.
Selain itu juga pendidikan juga berarti pembentukan karakter, kepribadian dan kemampuan anak-anak dalam menuju kedewasaan (Mahfud, 2006 : 34). Di dalam Psikologi Pendidikan juga dijelaskan bahwa “pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan” (Syah, 1995 : 10)
Dari pengertian pendidikan tersebut dapat diuraikan bahwa pendidikan adalah proses bantuan yang diberikan secara sengaja oleh orang dewasa kepada peserta didiknya yang belum dewasa untuk meningkatkan kepribadiannya.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Hartati, dkk, 1982: 5) berpendapat mengenai pendidikan nasional disebutkan:
Akan menumbuhkan kekuatan tiap-tiap rakyat, apabila pendidikan yang pertama dan utama dimulai dari rakyat dan segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa tidak akan ada hasilnya kalau tidak dimulai dari bawah. Dengan pendidikan yang diberikan pada rakyat akan menumbuhkan rakyat agar pandai serta cerdas yang akan dapat melakukan segala usaha, yang perlu untuk kemakmuran dari kesejahteraan bangsa.
Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang berfaedah bagi kehidupan beragama, haruslah sistem pendidikan itu disesuaikan dengan nilai kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pengaruh pendidikan dan pengajaran pada umumnya memerdekakan manusia atas hidup, lahir mereka, hidup lahir bathin akan muncul dari pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut nampak dengan jelas bahwa pendidikan adalah pertolongan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab atas pertumbuhan seorang anak untuk mengarahkan dan membawanya ke tingkat dewasa dengan berpedoman pada pendidikan nasional.
Pendidikan Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang hendaknya, diarahkan kepada sumber-sumber daya manusia muda sebagai generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional, sehingga pendidikan itu harus mendukung tiga hal pokok, yaitu: 1) Menyampaikan informasi atau pengetahuan yang fungsional, artinya dapat digunakan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari, 2) Menyampaikan keterampilan yang dapat digunakan, secara produktif dalam mencari nafkah sehari-hari, 3). Menanamkan, memupuk dan mengembangkan sikap serta jiwa pembangunan.
Jadi pendidikan dapat dikatakan usaha sadar seseorang/sekelompok orang terhadap orang lain untuk mendapatkan pertolongan, bimbingan, dari yang belum dewasa sehingga menjadi dewasa, baik secara rohani maupun jasmani guna dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab pada pembangunan bangsa dan negara.
2.3 Tujuan Pendidikan
“Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah suatu upaya untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia seutuhnya” ( Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:i)
Sedangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sisdiknas No. 20, 2003)
Dengan demikian Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas manusia agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri menjadi warga negara Demokratis serta bertanggung jawab dan mampu untuk mengembangkan kemampuan professional dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
2.4 Pendidikan Agama Hindu
2.4.1 Pengertian Pendidikan Agama Hindu
Berkaitan dengan pendidikan secara umum, maka di dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-IV, dijelaskan pengertian Pendidikan Agama Hindu dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pendidikan Agama Hindu Luar sekolah adalah merupakan upaya membina pertumbuhan jiwa masyarakat dengan ajaran Agama Hindu sebagai pokok materi.
2. Pendidikan Agama Hindu di Sekolah adalah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran Agama Hindu (Parisadha Hindu Dharma Pusat, 1982:21).
Dalam kitab Cilakrama ada disebutkan pengertian Pendidikan Agama Hindu yang disebut dengan istilah aguron-guron atau asewaka guru.
Aguron-guron adalah masa menuntut ilmu pengetahuan kerohanian di dalam sistem lapangan hidup kerohanian Hindu yang disebut catur asrama, yaitu empat lapangan hidup berdasarkan petunjuk kerohanian yang terdiri dari Brahmacari, grehasta, wanaprastha, dan bhiksuka. Masa hidup menuntut ilmu, memupuk pribadi dan berkerohanian tinggi disebut dengan Brahmacari/aguron-guron (Punyatmadja, 1976:12).
Dalam masa Brahmacari ini siswa dididik agar memiliki pribadi mulia, taat dan tekun melaksanakan perintah-perintah guru serta menggunakan dharma sebagai pedoman dalam bertingkah laku untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dan surgawi.
Upanisad juga merupakan sistem pendidikan Agama Hindu pada jaman dahulu. Secara etimologi upanisad berasal dari kata upa artinya dekat, ni artinya di bawah, sad artinya duduk. Jadi upanisad artinya duduk di bawah dekat guru untuk mendengarkan ajaran. Upanisad yaitu suatu ajaran mengenai Tuhan, penderitaan, surga, neraka dan moksa (Pudja, 1978:15).
Sedangkan dalam Weda Parikrama ada diuraikan bahwa “kata samsara yang berasal dari kata samkraghan diterjemahkan pendidikan, membiasakan, mensucikan, menjadi sempurna, membentuk indah, memberi pengaruh, upacara pensucian, upacara suci, dan lain-lain. Yang mempunyai arti yang sama dengan kata-kata itu” (Pudja, 1978:31).
Jadi di dalam Agama Hindu pendidikan disebut aguron-guron, upanisad dan samskara. Pendidikan Agama Hindu juga merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menjunjung tinggi akan adanya suatu yang langgeng yaitu Sang Hyang Widhi Wasa serta menganggap bahwa seluruh umat manusia merupakan suatu keluarga besar yang mempunyai suatu tujuan yaitu kembali ke asal-Nya, dengan jalan mengutamakan dharma sebagai suatu pedoman di dalam mengarungi kehidupan ini.
Dari uraian di atas dapat diuraikan bahwa Pendidikan Agama Hindu merupakan suatu ajaran mengenai pendidikan moral budi pekerti yang luhur, dengan harapan agar mencapai perkembangan kepribadian sikap mental dan budi pekerti yang luhur dengan jalan mengamalkan ajaran-Nya.
2.4.2 Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Pendidikan Agama Hindu di sekolah adalah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran Agama Hindu (Tim Penyusun, 1988: 24). Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia sudah tentu mempunyai tujuan. Berkaitan dengan masalah pendidikan maka yang menjadi dasar adalah orang dewasa yang sudah memiliki pengalaman hidup. Pandangan hidup tersebut dijadikan dasar guna mencapai tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Komponen-komponen yang secara langsung atau tidak langsung dalam profesi pendidik baik di keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat, hendaknya mampu membangkitkan rasa bhakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Agama Hindu telah mempunyai suatu konsep tentang tujuan pendidikan yang telah diuraikan dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke I-XIV. Adapun tujuan Pendidikan Agama Hindu tersebut antara lain:
1) Tujuan Pendidikan Agama Hindu di sekolah : 1) Membentuk manusia Pancasilais yang astiti bhakti (bertaqwa) kepada Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. 2) Membentuk moral, etika, dan spiritual anak didik yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
2) Tujuan Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah : 1) Menanamkan ajaran Agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat dalam semua perilaku kehidupannya. 2) Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran Agama Hindu dalam masyarakat yaitu antara Tattwa, Susila dan Upacara. 3) Ajaran Agama Hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan umat Hindu sehingga serasi dengan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. 4) Untuk mengembangkan hidup rukun antar umat beragama ( Tim Penyusun, 1988:23).
Tujuan Pendidikan Agama Hindu sebenarnya sejalan dengan tujuan pendidikan Nasional, sebagaimana disebutkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yakni: “bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budhi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa” (Wiana, 1997:69).
Dalam buku Kurikulum Pendidikan Dasar dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Hindu sebagai berikut :
1) Siswa memiliki pengetahuan dan keyakinan Agama serta mampu menerapkan konsep ajaran Agama dalam kehidupan sehari-hari yang tercermin dalam sikap taqwa kepada Sang Hyang Widhi Wasa, saling menghormati, kasih sayang, kritis, tekun dan bertanggung jawab.
2) Membentuk manusia seutuhnya, susila dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati hakekat kehidupan ini yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar mengetahui sebab-musabab sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapa pun bentuk penderitaan itu akan dapat di lenyapkan, karena telah diketahui jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
3) Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Hindu diharapkan siswa dapat meningkatkan kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993:1)
Jadi dapat diuraikan bahwa tujuan Pendidikan Agama Hindu adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, susila dan bijaksana yang juga memiliki kepekaan sosial dalam arti yang luas serta untuk membentuk siswa yang berbudhi luhur, berbakti kepada guru, hormat kepada sesama manusia, percaya dengan ajaran Panca Sradha serta mampu meningkatkan kesadaran beragama, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
2.5 Tari di Bali
2.5.1 Periodisasi Tari Bali
Berkembang atau punahnya seni tari dan seni-seni yang lainnya tergantung dari masyarakat pendukungnya, karena seni tari dan seni yang lainnya lahir dan berkembang di masyarakat itu sendiri. Perubahan struktur kehidupan yang terjadi di masyarakat akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kehidupan seni tari maupun seni yang lainnya. Maka dari itu periodisasi tari-tarian di Bali di susun berdasarkan perubahan struktur di masyarakat (Artika,1990:124). Adapun periodisasi-periodisasi tari Bali adalah sebagai berikut :
2.5.1.1 Zaman Masyarakat Primitif ( Pra Hindu )
Pada Zaman ini kehidupan masyarakat Bali sangat sederhana dan tergantung pada alam sekitarnya, bahkan juga kepada alam niskala (spiritual). Dengan demikian ritme alamlah yang mempengaruhi tari-tarian mereka. Pada zaman ini tari-tarian memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan mereka, yaitu berfungsi sebagai persembahan kepada para leluhur, sebagai sarana untuk membebaskan diri dari pengaruh alam sekitarnya, dan juga sebagai sarana komunikasi antara sesama manusia.
2.5.1.2 Zaman Masyarakat Feodal
Terbawanya kebudayaan Hindu ke Bali secara total adalah permulaan abad ke-XVI, yaitu pada saat jatuhnya Kerajaan Majapahit ke tangan Islam. Bangsawan Jawa dan orang-orang Hindu lainnya yang tidak mau merubah agamanya, lari ke Bali kemudian menetap dan membentuk kerajaan baru. Dalam perkembangan kemudian, dari fase-fase ini tampaklah bahwa selain unsur Agama Hindu, seni tari Bali juga dipengaruhi oleh Puri (Istana Raja-raja). Pengaruh tari ini terjadi karena para Raja yang memerintah Bali mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap seni tari. Pengaruh Puri terhadap seni tari Bali nampak dengan jelas pada saat pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (Klungkung) sekitar tahun 1460 – 1550.
Kemudian pada zaman penjajahan Belanda yaitu sejak awal abad ke- XX, sering kali Raja-raja Bali mementaskan tari-tarian Bali untuk menghibur tamu-tamu Belanda ini. Hanya saja penari-penari wanita sangat jarang dijumpai, karena adanya pandangan negatif terhadap wanita yang berprofesi sebagai penari. Munculnya penari wanita diperkirakan sekitar tahun 1915. Pementasan tari pada zaman ini umumnya bersifat formal, suasananya kaku dan para penarinya tidak punya kebebasan. Banyak penari yang disekap dalam penjara karena dalam pementasannya mereka melanggar apa yang telah digariskan oleh Raja.
2.5.1.3 Zaman Masyarakat Moderen
Zaman masyarakat moderen di Indonesia mulai sejak diproklamirkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Zaman ini disebut zaman moderen karena sejak saat ini masyarakat kita di Indonesia mulai hidup merdeka, mempunyai hak dan kewajiban untuk menuntut kehidupan yang wajar serta berpikir secara moderen. Sejak zaman moderen ini Tari Bali secara perlahan-lahan cenderung untuk melepaskan diri dari patronisasi puri. Hal ini terjadi karena di satu pihak masyarakat ingin melepaskan ketergantungannya kepada Puri, begitu pula sebaliknya Puri tidak ada hak lagi untuk memerintah dan mengendalikan masyarakat seperti pada zaman kerajaan dahulu, masyarakat mulai berusaha dan mengembangkan kesenian mereka khususnya seni tari dengan sistem Banjar, Sekeha, atau perkumpulan-perkumpulan lainnya sesuai dengan kepentingannya.
Sementara tari-tarian yang berfungsi sebagai upacara masih tetap dipelihara dengan baik dan dijaga kesuciannya. Selain itu, pementasan tari-tarian dengan maksud mempererat persahabatan antara Banjar dengan Banjar, Desa dengan Desa maupun antara Sekeha dengan Sekeha telah di lakukan. Selanjutnya, yang membawa angin sejuk terhadap perkembangan seni tari di Bali yaitu dengan didirikannya Konservatori Kerawitan Indonesia (KOKAR) pada tahun 1960 yang kini telah diganti namanya menjadi Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia (SMKI) yang berkedudukan di Denpasar.
2.5.2 Jenis – Jenis Tari Bali
Tari Bali pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : “ Tari Wali, Tari Bebali dan Tari Balih-balihan”. ( Wirnata, 2007 : 10)
2.5.2.1 Tari Wali
Tari wali adalah jenis tarian yang dikeramatkan oleh umat Hindu, karena digunakan untuk mengiringi pelaksanaan yadnya. Tari ini dikeramatkan karena dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dipengaruhi oleh alam semesta.
Yang termasuk jenis tari wali antara lain :
1) Tari Rejang
Yang termasuk tari rejang adalah semua tari rejang yang ada di Bali antara lain : Rejang Renteng, Rejang Lilit, Rejang Bangkul, Rejang Oyod Padi, Rejang Bregong, Rejang Alus, Rejang Luk Penyalin, Rejang Glibag Ganjil, Rejang Nyangnyingan, Rejang Pakenak, dan Rejang Dewa.
2) Tari Pendet
Tari Pendet merupakan tarian yang ditarikan oleh pria dan wanita yang telah disucikan (diwinten) dan masih perawan. Tarian ini digunakan untuk nuur/mendak Ida Bhatara dan juga untuk mendak tirta.
3) Tari Baris
Tari Baris ditarikan oleh remaja yang sudah dewasa dengan membawa alat-alat seperti tombak, tamiang, gayung, sangkur, dan jangkang. Tari ini biasanya di pentas kan pada saat upacara bhuta yadnya setelah pementasan tari rejang.
Jenis-jenis tari baris antara lain : Baris Dadap, Baris Presi, Baris Kuning, Baris Tombak, Baris Jojor, Baris Pendet (Gayung), Baris Tamiang, Baris Dangkur, Baris Jangkung, Baris Bajra, Baris Omang, Baris Gede, Baris Poleng, Baris Panah, dan Baris Gowak.
4) Tari Sanghyang
Tari Sanghyang dipertunjukkan bertujuan agar para bhuta-bhuti tidak mengganggu ketenteraman umat manusia, karena itu tari ini dipertunjukkan pada waktu upacara pecaruan. Adapun upacara pecaruan ini dilaksanakan di perempatan desa (catuspata) yang diiringi oleh tari sanghyang tersebut.
Jenis-jenis tari sanghyang antara lain : Sanghyang Dedari, Sanghyang Bojog, Sanghyang Kerek, Sanghyang Celeng, Sanghyang Jaran Gading, Sanghyang Memedi, Sanghyang Teter, Sanghyang Sri Putut, Sanghyang Tutup, Sanghyang Lesung, Sanghyang Dongkang, Sanghyang Sampat, Sanghyang Kuluk, Sanghyang Prahu, Sanghyang Capah, dan Sanghyang Lelipi.
2.5.2.2 Tari Bebali
Tari bebali adalah tari yang dipentaskan sebagai pelengkap upacara keagamaan misalnya adalah dalam sebuah upacara piodalan. Contoh tari bebali adalah tari Lelegongan, tari Drama, tari Topeng, Gambuh, Arja, Wayang Wong, serta tari-tarian yang lainnya.
2.5.2.3 Tari Balih-balihan
Tari bali-balihan adalah tari yang difungsikan sebagai hiburan. Tari ini memiliki tema masing-masing. Ada yang bercerita tentang alam, cinta kasih, dan yang lainnya. Contoh tari ini adalah : tari Panyembrahma, tari Pusparesti, tari Blibis, tari Margapati, tari Puspanjali, tari Gopala, tari Cendrawasih, tari Tamulilingan, tari Nelayan, tari Jalak Putih, tari Terompong, tari Wirayudha, tari Kidang Kencana, dan tari-tari yang lainnya.
2.6 Tari Lelegongan
Tari Lelegongan jika di tinjau dari asal katanya terdiri dari kata tari dan kata Lelegongan, istilah tari sesungguhnya telah sebagian besar di ketahui oleh masyarakat pada umumnya yaitu sebuah gerak yang terangkai dan berirama sebagai ungkapan jiwa dan ekspresi manusia yang di dalamnya terdapat unsur keindahan wiraga/tubuh, wirama/irama, wirasa/ penghayatan, dan wirupa/wujud (Tim Abdi Guru, 2004:145 ). Sedangkan Lelegongan berasal dari urat kata legong. “Kata legong sebagai sebuah kata bahasa Bali (bahasa nusantara), berasal dari sebuah akar kata leg, yang dikombinasikan dengan kata gong. Akar kata leg menggambarkan arti gerak yang luwes dan elastis” (Bandem,2004:98). Kenyataan inilah yang mengiringi pikiran kita kepada suatu kesimpulan bahwa leg itu mengandung sebuah arti gerak tari. Sedangkan gong mengandung arti gamelan, sehingga dapat disimpulkan bahwa kata “legong” mengandung arti tari dan gamelan. Jadi dapat penulis uraikan bahwa Tari Lelegongan adalah suatu tarian yang ditarikan dengan gerakan yang lambat tetapi luwes yang diiringi dengan sebuah gamelan.
Secara umum Tari Lelegongan ini adalah sebuah tarian yang ditarikan pada saat pelaksanaan upacara piodalan. Tari Lelegongan biasanya ditarikan oleh seorang perempuan yang sudah dewasa baik itu sudah bersuami ataupun belum. Tarian ini ditarikan oleh satu orang atau lebih dengan gerakan luwes dan sederhana. Para penari membawa sarana-sarana seperti canang burat wangi, air, tuak, arak, berem dan sarana-sarana yang lainnya. Tari Lelegongan ini termasuk dari jenis tari bebali karena berfungsi sebagai pelengkap suatu upacara Piodalan.
2.7 Piodalan
“Piodalan merupakan peringatan hari suci suatu pura atau bangunan suci. Piodalan juga berarti hari jadi suatu bangunan suci bagi umat Hindu di Bali yang diperingati setiap enam bulan sekali” (Putra, 1998 : 13). Dimana pada waktu pembuatan bangunan suci tersebut berdasarkan subha dewasa (hari baik), dan pada dewasa tersebut dilaksanakan upacara penyucian serta pengurip-urip bangunan, oleh karena itu setiap datangnya dewasa itu selalu dibuatkan upacara penyucian. Bila di andaikan seperti manusia, hari piodalan ini sama dengan hari kelahiran yang dirayakan setiap enam bulan sekali (hari kelahiran Bali). Pelaksanaan upacara penyucian juga seperti itu, yaitu dilaksanakan setiap enam bulan sekali dan ada juga yang melaksanakan satu tahun sekali. Hal itulah yang disebut “Hari Piodalan”. Pelaksanaan upacara piodalan ini perlu dilaksanakan sebagai penyucian bangunan tersebut, dan juga sebagai jalan untuk dapat umat Hindu melaksanakan sradha serta bhaktinya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya agar kehidupan beragama sehari-hari dapat diwujudkan.
Dalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia menguraikan bahwa “piodalan berasal dari kata ‘odal’ yang berarti luar atau lahir, mendapat awalan pi- dan akhiran -an, menjadi piodalan yang berarti perayaan di pura khayangan” (Anandakusuma, 1986 : 130).
“Piodalan bertujuan untuk memelihara dan menjaga secara spiritual kesucian suatu tempat pemujaan sehingga tetap dapat digunakan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi-Nya”. (Swarsi, 2003 : 7)
Dari pendapat di atas dapat diuraikan bahwa piodalan berarti peringatan hari suci yang telah ditetapkan sebagai tonggak sejarah terhadap suatu pura atau perayaan pura khayangan bagi umat Hindu di Bali yang disesuaikan dengan desa, kala, dan patra masing-masing daerah setempat.
Dalam pelaksanaannya upacara piodalan ini, ada beberapa tingkatan yaitu nista, madya dan utama. Ini tergantung dari sarana upakara yang dipakai dalam pelaksanaan piodalan tersebut, tapi yang terpenting adalah keikhlasan. Pelaksanaan piodalan yang dilaksanakan berdasarkan keikhlasan sering disebut dengan yadnya. Pada hakekatnya pelaksanaan yadnya dalam Agama Hindu merupakan satu kesatuan yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas keagamaan. Seperti yang telah kita ketahui ajaran Agama Hindu merupakan dasar dari Tiga Kerangka Agama Hindu yang terdiri dara tattwa, susila, dan upacara.
Piodalan di Pura Puseh yaitu sebuah upacara dewa yadnya yang dilaksanakan di Pura Puseh. Seperti telah dikemukakan di depan bahwa Piodalan merupakan peringatan hari suci suatu Pura atau bangunan suci. Piodalan juga berarti hari jadi suatu bangunan suci umat Hindu di Bali yang diperingati setiap enam bulan sekali. Tetapi Piodalan di Pura Puseh ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali yaitu tepatnya Purnamaning Sasih Kapat. Piodalan yang dilaksanakan tiga tahun sekali ini adalah Piodalan Ageng (besar), sedangkan Piodalan alitnya (kecil) dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Pada Piodalan ini fokus pemujaannya adalah kepada Dewa Brahma yaitu sebagai pencipta dari alam semesta ini. Karena berkat Beliau alam semesta ini tercipta beserta isinya. (Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008)
Piodalan di Pura Puseh dilaksanakan dengan dudonan atau susunan acara sebagai berikut :
1) Menghias Pelinggih
Menghias Pelinggih dilakukan oleh para pengurus/panitia Desa Pakraman Culik, para Pemangku, dan Kerandan Desa Pakraman Culik.
2) Nuwur Tirtha
Artinya tirtha yang diperoleh dengan cara memohon kepada Tuhan atau Ida Bhatara.
3) Melasti
Melasti dilaksanakan pada sore hari yaitu kira-kira pukul 15.00. Melasti ini dilaksanakan sehari sebelum puncak karya yang bertujuan untuk mensucikan prelingga-prelingga, karena sarana ini sebagai media untuk memusatkan pikiran dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa-dewi, dan Bhatara-bhatari. Setelah datang dari melasti yaitu di pantai Amed, prelingga-prelingga dari masing-masing Pura Dadia ditempatkan (mepanggung) di Pura Puseh.
4) Puncak Karya
Pada saat hari Puncak Piodalan dilakukan beberapa kegiatan yaitu:
- Paginya menghaturkan Canang hias
- Pukul 15.00 Pedanda Muput/Mepuja Upacara Piodalan
- Setelah Pedanda selesai Muput/Mepuja, baru Ida Bhatara katuran Tari Lelegongan
- Kemudian katuran Tari Rejang Lilit
- Kemudian melakukan pemuspaan/persembahyangan bersama.
- Malamnya kira-kira jam 12 malam Ida Bhatara tedun mabyasa.
3) Pengayar
Penganyar dilaksanakan dua hari yaitu setelah puncak karya. Biasanya orang yang sembahyang pada saat penganyar ini adalah selain karma Desa Pakraman Culik juga ada masyarakat Desa Culik yang tinggal jauh dan juga yang sudah kawin keluar Desa Pakraman Culik.
4) Penyineban
Penyineban dilaksanakan pada hari ke-4. Semua Prelingga kembali ke tempat Pura Dadia masing-masing.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengertian Metode Penelitian
Dalam melaksanakan suatu penelitian tentu didasari oleh tujuan yang ingin dicapai. Dalam pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan suatu teknik atau metode. “Metode merupakan suatu cara atau jalan yang memiliki kaitan dengan suatu upaya ilmiah yang merupakan cara kerja untuk memahami sasaran ilmu yang bersangkutan” (Koenjaraningrat,1993:7). Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian yang dilakukan atas dasar adanya ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. “Empiris artinya bahwa cara-cara yang dilakukan dalam suatu penelitian dapat diamati oleh manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang di gunakan. Sistematis artinya proses yang di gunakan dalam penelitian tersebut menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis” (Nasir,1988:13) dalam sebuah buku yang berjudul Metodologi Penelitian dikemukakan bahwa penelitian yang merupakan pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan. Hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmiah, jika metode yang dipergunakan sesuai dengan penelitian yang akan dikaji sehingga mampu menghasilkan data yang obyektif.
Di dalam buku Metodologi Penelitian dijelaskan bahwa metode penelitian adalah “pembahasan mengenai konsep teoritik berbagai metode kelebihan dan kelemahannya yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan” (Sedarmayanti, 2002 : 25).
Dari berbagai pengertian metode di atas dapat diuraikan bahwa metode adalah suatu cara yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa metode antara lain;
3.2 Metode Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan merupakan “suatu hal yang penting untuk mengadakan pendekatan pada subjek penelitian. Di dalam penelitian pendidikan ada dua jenis pendekatan yaitu pendekatan eksperimen dan pendekatan emperis” (Dwija, 2006 : 239). Metode eksperimen adalah metode pendekatan penyelidikan dengan membuat situasi secara sengaja oleh peneliti. Sedangkan metode emperis adalah suatu cara pendekatan dimana gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar dalam lingkungan masyarakat. Menurut (Dantes, 1992 : 50) menyatakan bahwa:
Secara garis besarnya cara atau metode pendekatan subjek penelitian sebagai pendukung gejala penelitian dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu emperis dan eksperimen. Pendekatan emperis adalah penelitian dilaksanakan sesudah variasi-variasi dalam ubahan (variabel) ditentukan dalam waktu tertentu. Sedangkan pendekatan eksperimen adalah gejala yang akan diteliti dibuat (dimunculkan) dengan sengaja, diberikan perlakuan baru pada subjek yang akan diteliti.
Di dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan penelitian emperis karena situasi penelitian sudah ada secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Tempat penelitian yang dituju yaitu di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian Tari Lelegongan dilakukan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem yang berjarak ± 17 km dari ibu kota kabupaten Karangasem dan ± 8 km dari ibu kota kecamatan Abang. Desa Pakraman culik meliputi wilayah yang cukup luas antara lain ; Desa Dinas Culik secara keseluruhan, sebagian wilayah Desa Dinas Kertha Mandala, sebagian wilayah Desa Dinas Purwa Kerthi dan sebagian wilayah Desa Dinas Labasari. Sebagian besar kehidupan masyarakat desa Pakraman culik adalah petani dan ada sebagian kecil yang menjadi PNS. Hampir setiap lapisan masyarakat tahu tentang Tari Lelegongan dan dapat menarikannya dengan baik.
3.4 Jenis Dan Sumber Data
Dalam buku Metodologi Pendidikan jenis penelitian menurut filosofisnya dapat dibagi dua yaitu jenis kuantitatif dan jenis kualitatif. “Jenis kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka atau skor sedangkan jenis kualitatif adalah data yang menggambarkan kata-kata atau kalimat “ (Arikunto, 1998 : 245). Sedangkan dalam Buku Metode Penelitian menyatakan bahwa :
Jenis data kualitatif lebih menekankan analisis pada proses menyimpulkan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Sedangkan jenis data kuantitatif menekankan analisis pada data-data umnonerikal (angka-angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika (Saiffudin, 1997 : 5)
Di dalam penelitian ini digunakan penelitian jenis kualitatif karena penulis mengadakan penelitian secara langsung dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu sumber data yang dipergunakan adalah data data primer dan data sekunder. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia “data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh perseorangan atau suatu organisasi melalui objeknya. Sedangkan data sekunder adalah data dalam bentuk sudah jadi atau sudah dikumpulkan oleh pihak lain” (Sugono, 2006 : 147). Sedangkan menurut Titib (2001 : 6) dalam bukunya Theologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu dinyatakan bahwa “data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari objek penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber atau objek secara tidak langsung atau data-data tersebut diperoleh melalui dokumen-dokumen maupun pihak ketiga.
Jadi penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dengan menggunakan sumber data primer atau langsung dari objek yang diteliti dan sumber data sekunder yang diambil dari berbagai dokumen dan pihak ketiga untuk mendukung penelitian. Data primer diperoleh secara langsung dari tokoh-tokoh masyarakat, para pemangku dan para penari. Sedangkan data sekunder yang diperoleh mendukung data primer di atas sehingga penelitian menjadi lebih ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Data sekunder yang diperoleh bersumber dari pemunder, awig-awig maupun buku-buku kesenian.
3.5 Metode Penentuan Subjek Penelitian
Untuk mendapatkan data tentang Tari Lelegongan diperlukan informasi dari para informan yaitu orang-orang yang mengetahui dan mampu memberikan informasi seluas-luasnya tentang fungsi dan nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam Tari Lelegongan yang ada di Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Dari sejumlah informan yang dianggap mengetahui perihal tari tersebut, diadakan penentuan secara selektif siapa saja yang layak untuk dijadikan informan. Untuk menentukan informan ada beberapa teknik seperti : “1. Teknik purposive sampling yaitu penentuan informan berdasarkan kemampuannya untuk memberikan data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian. 2. Teknik snow ball sampling yaitu penentuan informan berdasarkan teknik bola salju bergulir” (Titib, 2001 :6). Lebih jelas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan snow ball sampling, dari informan kunci dimintakan informasi tentang informan selanjutnya. Dari informan kedua kembali dimintakan pendapat mengenai informan berikutnya. Demikian seterusnya sampai data yang diperlukan mencapai titik jenuh sesuai dengan tujuan penelitian dan data yang diperlukan dianggap sudah cukup memadai. Dalam penelitian kualitatif, para informan dipilih dengan teknik purposive sampling (teknik penentuan sampel) dengan mempertimbangkan mereka yang dipilih sebagai pemberi informasi yang akurat dan valid sesuai dengan tujuan penelitian yang akan di teliti. Jadi yang dipilih menjadi informan yaitu para pemangku, tokoh masyarakat dan para penari dari Tari Lelegongan ini.
3.6 Metode Pengumpulan Data
“Metode pengumpulan data merupakan kegiatan pencatatan suatu peristiwa-peristiwa, keterangan-keterangan maupun karakteristik sebagian, seluruh elemen atau populasi yang akan mendukung penelitian” (Hasan, 2002:80). Dalam buku Metode Penelitian dinyatakan bahwa “data adalah bahan mentah yang akan diolah” (Suryabrata, 2003: 38). Metode pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, metode wawancara dan metode dokumentasi. Adapun uraiannya akan disajikan sebagai berikut :
3.6.1 Metode Observasi
Metode Observasi merupakan suatu proses yang komplek, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologi, pengamatan yang tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam lain (Sugiyono, 2002: 138). Dalam Buku Metodologi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi disebutkan, teknik observasi adalah ”suatu cara pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati langsung terhadap objeknya atau pengganti objeknya”(Gorda,1994: 84). Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa teknik observasi adalah pengumpulan atau pencarian data dengan jalan mengamati langsung objek penelitian. Peneliti harus mencatat atau merekam segala hal yang terjadi dalam pengamatan, hal ini sangat penting dilakukan agar tidak kehilangan data, salah duga atau lupa.
Observasi yang dilakukan di sini adalah observasi nonpartisipan. Yang dimaksud dengan observasi nonpartisipan adalah pengamatan dimana peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono, 2002: 140). Pada tahap ini yang diobservasi adalah gerakan tari yang dilakukan oleh penari, dalam hal ini adalah Tari Lelegongan.
3.6.2 Metode Wawancara
“Metode wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam tanya-jawab secara langsung antara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Metode wawancara dipergunakan dalam suatu penelitian guna memperoleh data yang lebih obyektif dengan pencatatan yang sistematis sebagai tujuan penelitian” (Sutrisno, 1986 : 193). “Wawancara atau tanya-jawab dilakukan oleh dua pihak yang memiliki kedudukan yang berbeda antara pencari informasi dan pemberi informasi biasanya dilakukan terhadap beberapa tokoh yang dianggap lebih tahu dan mampu memberikan informasi, pendapat dan pandangan tentang suatu permasalahan secara sistematis” (Sedarmayanti, 2002 : 66). Dalam penelitian yang mengkaji tentang Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem yang diwawancarai adalah, tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang mengetahui tentang keberadaan Tari Lelegongan. Dalam teknis wawancara digunakan teknik wawancara bebas dan perorangan yang sifatnya tidak terstruktur, mengingat bahwa ada bermacam-macam teknik dalam wawancara seperti : wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data, wawancara tersebut digunakan dengan tujuan data yang didapatkan dari responden dapat dikembangkan serta mendapatkan data yang lebih mendalam tentang obyek yang diteliti. Wawancara sesuai prosedur atau wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dimana seorang pengumpul data telah mempersiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya telah disiapkan. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang yang dipandang tahu tentang Tari Lelegongan yaitu para pemangku, tokoh masyarakat, dan beberapa penari yang menarikan tari Lelegongan.
3.6.3 Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah “cara memperoleh data dengan jalan mengumpulkan segala macam dokumen dan melakukan pencatatan secara sistematis” (Agung, 1999 : 74). “Teknik dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsif, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah penelitian atau dokumenter” (Zuriah, 2006 : 191).
Dengan demikian teknik dokumentasi sangat membantu dalam pengumpulan materi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan adalah buku, awig-awig, foto-foto dan kamus.
3.7 Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data adalah suatu metode yang dipergunakan untuk menganalisa suatu data, mengingat data yang diperoleh adalah data yang mentah maka perlu dikaji dan dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Metode pengolahan data ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
3.7.1 Metode Komperatif
Metode Komparatif atau analisa komparatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan analisa faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu dengan mengadakan bandingan atau perbandingan secara terus-menerus (Nasir,1988:68). Setelah data terkumpul lalu diklasifikasikan dan disusun secara sistematis dan dibanding-bandingkan antara data yang satu dengan data yang lainnya sehingga diperoleh sebuah kesimpulan umum. Dalam metode komperatif lebih banyak menggunakan logika untuk menyatukan dan memadukan data-data yang berbeda yang diperoleh dari metode pengumpulan data seperti metode observasi, metode wawancara, metode kepustakaan.
3.7.2 Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukis kan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998:62). Dalam metode deskriptif digunakan teori-teori dan teknik-teknik penulisan dengan baik mengingat teori atau teknik penulisan itu merupakan keseragaman yang sudah ditentukan dan merupakan aturan yang baku dalam penulisan misalnya seperti dalam hal pengutipan kalimat.
3.7.3 Metode Korelasi Metode korelasi merupakan suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan suatu analisis tertentu sehingga diperoleh suatu kesimpulan (Lexy. J Moleong, 2006 : 280).
Setelah mendapatkan dari suatu gambaran dari proses pengolahan data, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik yang tepat. Di dalam metodologi penelitian ada beberapa teknik analisis yang dipergunakan secara umum dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dilakukan dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, foto-foto dan langkah berikutnya adalah mengadakan redaksi dengan jalan abstraksi. (Lexy. J Moleong, 2006 : 247)
Dari definisi yang diungkapkan maka metode pengolahan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Metode deskriftif dengan teknik induksi dan argumentasi, yaitu dengan menguraikan dan menerangkan persoalan-persoalan atas dasar faktor-faktor dan alasan-alasan rasional. Jadi dengan demikian dalam penelitian ini, setelah mendeskrifsikan hasil catatan lapangan, selanjutnya membandingkan dengan terus menerus sampai mendapat suatu kesimpulan umum, barulah dipilah-pilah sehingga diperoleh suatu kesimpulan.
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
4.1.1 Sejarah Desa Pakraman Culik
Menurut isi Pemunder Desa Adat Culik, mengatakan bahwa Desa Culik sudah ada sejak tahun Isaka 500, dikuasai oleh desa Adat Datah. Yang menyebabkan sampai bernama Desa Culik, dikarenakan sumpah Ida Bhatari Danuh pada saat membawa air dalam daun kumbang (candung) kaculik-culik (ditusuk-tusuk) dengan sebuah lidi (batang janur) oleh wong Culidra sehingga keluar air yang sangat besar di belakang Pasar Desa Culik sekarang. Karena besarnya air menyebabkan mengeluarkan suara macengung (bergemuruh), sehingga sungai tersebut sampai sekarang bernama sungai Cengu. Bisama Ida Bhatari Danuh sesudah memberi nama Desa Culik, supaya di wilayah Desa Culik tidak ada sumber air yang besar melainkan hanya ada sumber air yang sangat kecil. Perjalanan Ida Bhatari dilanjutkan ke Ababi, di sana air yang dibawa oleh Ida Bhatari Danuh dipergunakan sebagai sarana upacara yadnya. Itulah yang menyebabkan sampai sekarang di wilayah Desa Adat Ababi ada sumber air yang sangat besar. Begitu juga perjalanan Ida Bhatari ke Sibetan dan tempat lainnya, Ida Bhatari Danuh memberikan air yang di bawa-Nya untuk dipergunakan sebagai sarana upacara yadnya, sehingga mengeluarkan sumber air yang sangat besar.
Lama-kelamaan, pada saat Ida Anak Agung Made Ngurah Karangasem di Puri Karangasem berkuasa. Ki Pasek Culik membuat akal-akalan supaya Desa Culik bisa pisah dari Desa Adat Datah, yaitu kira-kira Isaka 1578. Berdasarkan keputusan Anak Agung Ngurah Karangasem akhirnya Desa Culik pisah dari Desa Adat Datah dan membentuk Desa Adat Culik. Pisahnya Desa Adat Culik bersamaan dengan pisahnya Desa Adat Tukad Besi dari Desa Adat Datah.
Berdasarkan Paruman Agung Bendesa Adat di Gianyar pada tahun 2006 maka Desa Adat Culik berubah nama menjadi Desa Pakraman Culik. (Pasek, wawancara tanggal 26 Agustus 2008).
Desa Pakraman Culik pusatnya terletak di Desa Dinas Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Jaraknya ± 17 Km dari kota Amlapura yang merupakan Ibu kota dari Kabupaten Karangasem. Sedangkan dari Kota Kecamatan jarak yang ditempuh ± 6 Km. Batas wilayah Desa Pakraman Culik adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Barat adalah Desa Pakraman Datah.
2. Sebelah Timur adalah Desa Pakraman Sega, Desa Pakraman Gulinten dan Desa Pakraman Bebayu.
3. Sebelah Selatan adalah Desa Pakraman Linggawana dan Desa Pakraman Tista.
4. Sebelah Utara adalah Desa Pakraman Datah dan Desa Pakraman Peselatan.
Sedangkan yang termasuk wilayah Desa Pakraman Culik adalah seluruh wilayah Desa Dinas Culik, sebagian dari wilayah Desa Dinas Labasari, Sebagian dari wilayah Desa Dinas Kertha Mandala dan sebagian dari wilayah Desa Dinas Purwa Kerthi. Sehingga jumlah penduduknya cukup padat yaitu ± 1800 kepala keluarga. Mata pencaharian penduduknya adalah sebagian besar bertani (bercocok tanam) ± 60% tetapi ada juga yang berprofesi sebagai nelayan ± 10%, pedagang (wiraswasta) ± 20%, dan juga sebagai PNS ± 10%. (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008).
4.1.2 Kehidupan Sosial Keagamaan
Desa Pakraman Culik memiliki Kahyangan Tiga sebagai tempat persembahyangan yaitu Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Disamping Kahyangan Tiga ini ada satu pura lagi sebagai tempat persembahyangan yaitu Pura Dalem Puri. Pura Kahyangan Tiga mengadakan piodalan ageng (utama) tiga tahun sekali sedangkan piodalan alitnya (nista) setahun sekali. Sedangkan Pura Dalem Puri mengadakan piodalan ageng setiap satu tahun sekali (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008).
Desa Pakraman sebagai lembaga sosial tradisional memiliki kontribusi yang sangat strategis dalam pembangunan diberbagai kehidupan umat Hindu di Desa Pakraman Culik. “Desa adat merupakan kesatuan wilayah dimana para warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa” (Gorda, 1999:2).
Setiap Desa Pakraman mempunyai awig-awig yaitu ketentuan-ketentuan dasar dan peraturan yang menjadi pedoman dasar dalam segala perilaku dalam kehidupan bersama. Awig-awig Desa Pakraman merupakan salah satu unsur yang mengikat rasa kesatuan warga dalam kehidupan bersama. Awig-awig yang telah disepakati oleh Krama Desa Pakraman ini membuat kehidupan beragama semakin serius. Melalui awig-awig tersebut hubungan antara intern umat beragama semakin meningkat, pelaksanaan yadnya semakin mantap serta pemeliharaan terhadap tempat suci (pura) semakin serius. Awig-awig Desa Pakraman Culik disusun pada tahun 1975 sesuai dengan Peraturan daerah dan Paruman Desa Pakraman. (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008). Beliau yang merupakan Kelihan Desa Pakraman Culik juga mengatakan dalam penyusunan awig-awig Desa Pakraman Culik berpedoman pada catur dresta yaitu:
1) Sastra Dresta adalah ketentuan-ketentuan yang bersumber dari sastra Agama Hindu dan sastra Negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. 2) Purwa Dresta adalah ketentuan-ketentuan yang bersumber dari tradisi yang masih berlaku atau kebiasaan sejak jaman dahulu dan tidak bertentangan dengan Ajaran Agama Hindu. 3) Loka Dresta adalah ketentuan-ketentuan dari pandangan-pandangan atau saran-saran tokoh masyarakat atau Krama Desa Adat sesuai dengan keadaan setempat. 4) Desa Dresta adalah ketentuan ketentuan yang berlaku di lingkungan Desa Pakraman Culik berdasarkan awig-awig Desa Pakraman yang berdasarkan konsep Tri Hita Karana. (Gorda, 1999:29)
Tri Hita Karana yaitu Tri berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan, Karana berarti penyebab, jadi Tri Hita Karana berarti tiga penyebab atau sumber kebahagiaan. Tiga penyebab kebahagiaan itu adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), Manusia dan Bhuta (lingkungan hidup). Secara garis besar landasan konsep Tri Hita Karana dijadikan dasar dalam penataan wilayah Desa Pakraman Culik yang dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu Parhyangan, Palemahan dan Pawongan. Palemahan ditata menjadi tiga yaitu : 1) Utama Mandala adalah tempat sembahyang seperti khayangan tiga dan Pura Dalem Puri. 2) Madya Mandala adalah tempat pemukiman penduduk. 3) Nista Mandala adalah kuburan dan tempat membuang limbah atau sampah. (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008)
Di samping sebagai kesatuan manusia selalu dikaitkan dengan wilayah lingkungan beserta kekuatan trasinden yaitu taksunya. Taksu yaitu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang memberkati keterampilan seseorang. Dalam rangka mewujudkan kebahagiaan Krama Desa Pakraman Culik, ada tiga jenis sumber daya pembangunan yang diyakini dapat mengantarkan terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan warga masyarakat yaitu : 1) Sumber daya Brahman dalam hal ini parhyangan (Kahyangan Tiga). 2) Sumber daya manusia (pawongan). 3) Sumber daya alam lingkungan (palemahan). Ketiga sumber inilah yang diberdayakan agar seimbang. (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008).
Ajaran Agama adalah salah satu jalan hidup untuk mencapai kesempurnaan. Selain itu ajaran agama dapat membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan. Ajaran tersebut lebih ditekankan pada pendidikan susila dan budi pekerti. Ajaran Agama berusaha untuk membina umatnya untuk mencapai kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dalam penjelmaan yang akan datang, ketenteraman batin dan kebebasan roh dari penjelmaan. Tujuan tersebut dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan kwalitas Sradha dan Bhakti
Kehidupan sosial keagamaan di Desa Pakraman Culik dilandasi dengan ajaran Tat Twam Asi. Ketika melaksanakan upacara keagamaan masyarakat Desa Pakraman Culik meyakini ajaran panca sradha yakni :1) Percaya adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, 2) Percaya dengan adanya Atma, 3) Percaya dengan adanya Karma Phala, 4) Percaya dengan adanya Punarbhawa dan 5) Percaya dengan adanya Moksa.
Dalam kesehariannya umat Hindu di Desa Pakraman Culik memiliki motto seperti orang Bali pada umumnya yaitu, “Sagalak sagilik saguluk, paras paros sarpanaya, salunglung sabayāntaka” (Mangku Tara, Wawancara tanggal 27 Agustus 2008). Bentuk sagalak sagilik saguluk mempunyai makna bahwa hidup secara bersama, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Wujud sagalak, sagilik, saguluk pada masyarakat Desa Pakraman Culik terlihat dalam berbagai kegiatan antara lain : dalam pembersihan lingkungan, upacara perkawinan, upacara tiga bulanan, serta kegiatan Adat yang lainnya. Masyarakat Desa Pakraman Culik tidak mengenal adanya perbedaan tinggi, rendah, kaya dan miskin, mereka bersatu padu dalam membangun dan mempertahankan kebudayaannya. Paras paros sarpanaya mempunyai makna bahwa di dalam hidup memiliki sifat saling mengasihi dan mau menerima pendapat orang lain. Wujud paras paros sarpanaya ini terlihat dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Pakraman Culik dalam kegiatan masuka-duka. Salunglung sabayāntaka mempunyai makna bahwa dalam situasi apapun hendaknya selalu memperhatikan kawan di sekitarnya, terciptanya kerukunan pada masyarakat Desa Pakraman Culik tentu karena adanya saling memperhatikan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya motto tersebut kehidupan keagamaan semakin terwujud dan menambah kerukunan serta menumbuhkan sifat kerjasama yang baik khususnya pada saat upacara yadnya di Desa Pakraman Culik. Para anggota masyarakat saling tolong-menolong bergotong-royong menyelesaikan kegiatan bersama guna mensukseskan yadnya tersebut.
4.1.3 Struktur Organisasi Desa Pakraman Culik
Desa Pakraman Culik merupakan suatu Lembaga Desa yang bergerak di bidang “Sosial-Relegi” atau sosial keagamaan yang dipimpin oleh Kelihan Desa atau Bendesa yang dibantu oleh Prajuru dalam melaksanakan tugas menegakkan aturan-aturan Desa.
STRUKTUR ORGANISASI DESA PAKRAMAN CULIK
MENURUT PEMUNDER AWIG-AWIG PASUKERTAN DAN DRESTA
Keterangan : Garis Wisaya Kasinoman/Krama (hak
warga Desa)
Garis Pituduh (garis komando)
Garis Paras-paros (koordinasi)
Sedangkan Susunan Pengurus Desa Pakraman Culik adalah sebagai berikut :
Dari konsep Tri Hita Karana yaitu parhyangan, palemahan, dan pawongan maka tugas Pengurus Desa Pakraman Culik dirumuskan sebagai berikut :
1) Mengatur pelaksanaan dan mengorganisasikan Krama Desa Pakraman dalam pelaksanaan Panca Yadnya.
2) Menanamkan Nilai Pendidikan Agama Hindu melalui kegiatan upacara keagamaan.
3) Mengatur hubungan sosial antara Krama Desa Pakraman dengan Pura Kahyangan Tiga.
4) Mengatur dan mengorganisasikan Krama Desa Pakraman dalam pembangunan dan pelestariannya.
5) Menetapkan sanksi bagi Krama Desa Pakraman yang melanggar awig-awig Desa Pakraman beserta aturan pelaksanaanya.
6) Mengurus palemahan Desa Pakraman berupa tanah Ayahan Desa maupun barang-barang milik Desa Pakraman. (Pasek, Wawancara tanggal 26 Agustus 2008)
Dari paparan di atas maka dapat dikemukakan bahwa Desa Pakraman adalah lembaga sosial religius, yang mengatur warga masyarakat yang beragama Hindu, serta wilayah teritorial Desa agar tercipta kehidupan yang harmonis, dinamis serta bersinergi sehingga dapat terwujud masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin.
4.2 Bentuk Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem
Bentuk Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik adalah sebagai berikut :
1) Penari Tari Lelegongan adalah beberapa orang perempuan yang sudah menikah.
2) Pakaian yang dipergunakan pada saat menari adalah pakaian adat sembahyang biasa.
3) Gerakannya adalah gerakan-gerakan tarian biasa yang hanya terdiri dari agem dan tanjek. Agem yang digunakan adalah agem kanan dan agem kiri. Sedangkan tanjek dilakukan pada saat akhir gamelan, maksudnya adalah setiap satu putaran tarian melakukan tanjek satu kali pada akhir putaran tarian. Tari Lelegongan ini dipentaskan kira-kira 5 sampai dengan sepuluh menit. (Murtini, wawancara tanggal 30 Agustus 2008)
4) Sarana yang dibawa pada saat menari adalah canang burat wangi, ayunan, buah-buahan, air, arak, tuak dan berem.(Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008)
Tari Lelegongan dilaksanakan pada saat Ida Pedanda selesai muput banten atau selesai menghaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau setelah upacara Piodalan dilaksanakan. Sebelum menari para penari yang terdiri dari beberapa perempuan yang sudah menikah ini mempersiapkan sarana prasarana yang akan dibawa pada pementasan Tari Lelegongan tersebut. Pada saat inilah terlihat rasa kebersamaan dan persatuan dari para penari yang terdiri dari berbagai warga/soroh. Setelah selesai mempersiapkan sarana prasarana yang diperlukan, para penari sembahyang terlebih dahulu supaya memperoleh tirtha penglukatan atau pembersihan dan tirtha wangsuh pada (Murtini, wawancara tanggal 30 Agustus 2008).
“Tirtha adalah sarana keagamaan yang sakral sebagai unsur yang sangat penting dalam melakukan kegiatan yadnya” (Wiana, 2002:137). Untuk membuktikan kesakralan tirtha dasarnya adalah keyakinan keagamaan yang mendalam. Tanpa keyakinan keagamaan tidak dapat dibuktikan bahwa tirtha itu bukanlah air biasa. Karena untuk membuktikan kebenaran Agama dasarnya adalah keyakinan. Kata tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa sansekerta. Namun para ahli bahasa memberikan arti yang berbeda-beda, ada yang mengartikan sebagai permandian yang suci, air suci, ada juga yang mengartikan sebagai tempat-tempat suci atau perjalanan suci. Meskipun artinya berbeda-beda namun ada unsur pengertian yang sama yaitu tirtha itu artinya suci atau membersihkan. Dalam Lontar Paniti Agama Tritha disebutkan sebagai berikut : ”Tirtha Ngaran Amaertha”. Artinya tirtha adalah kehidupan. Sedangkan dalam Lontar Agama Tirtha disebutkan sebagai berikut : “U” ngaran Uddhaka, ngaran, Ganga ngaran tirtha suci. Uddhaka dalam bahasa sansekerta artinya laut. Fungsi laut dalam Agama Hindu adalah sebagai sarana penyucian atau tempat peleburan segala kekotoran (dalam Wiana, 2002:138).
Dalam melakukan persembahyangan ada dua jenis tirtha yang dipakai yaitu tirtha wangsuh pada dan tirtha penglukatan. Tirtha wangsuh Pada berfungsi sebagai penutup sembahyang. Tirtha ini dipercikkan di kepala, diminum, diraupkan pada muka. Tujuannya adalah sebagai lambang anugerah dari yang dipuji atau dari Ida Bhatara untuk memberi dan memelihara kehidupan pemuja. Sedangkan fungsi tirtha penglukatan adalah untuk menyucikan secara spiritual sarana upacara atau bebanten yang akan dijadikan sarana persembahan dan juga dipakai sarana penyucian diri sendiri baik sekala maupun niskala. Tirtha penglukatan dewanya adalah Dewa Ganesha. Dewa Ganesa adalah Dewa Wighna-ghna. Wighna artinya halangan. Tujuan kita menggunakan tirtha penglukata adalah untuk menghapuskan segala hambatan dalam pendakian spiritual kita menuju kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di samping tirtha penglukatan dikenal juga adanya tirtha pembersihan. Umumnya dalam sembahyang atau berbagai keperluan lain antara tirtha penglukatan dan tirtha pembersihan sering disatukan. Titha penglukatan untuk menghilangkan hambatan dari luar diri kita sedangkan tirtha pembersihan adalah berfungsi menghilangkan hambatan dari dalam diri.
Para penari Tari Lelegongan pada awal persembahyangan mereka mendapatkan tirtha pengluktan atau tirtha pembersihan yang berfungsi untuk menghapuskan segala hambatan dalam pelaksanaan Tari Lelegongan baik itu hambatan dari dalam maupun hambatan dari luar diri. dan pada akhir persembahyangan mereka mendapatkan tirtha wangsuh pada yang berfungsi untuk memperoleh anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Setelah sembahyang barulah gamelan dibunyikan oleh para penabuh. Para penari Tari Lelegongan mengambil sarana-sarana yang akan dibawa dalam menarikan Tari Lelegongan tersebut. Mereka menari dengan gerakan-gerakan yang lambat, luwes tetapi sesuai irama tabuh yang dimainkan oleh penabuh. Sarana-sarana yang dibawa adalah canang burat wangi, ayunan, buah-buahan, air, tuak, arak dan berem yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
Unsur-unsur yang terdapat pada canang burat wangi adalah ; plawa atau daun kayu, kapur dan buah pinang melambangkan ketenangan hati, daun sirih sebagai lambang dari Dewa Wisnu, kapur sebagai lambang Dewa Siwa dan pinang sebagai lambang Dewa Brahma. Setelah bahan-bahan tersebut disusun diatasnya disusun dengan jejahitan yang disebut wadah lengis yakni tempat minyak wangi, bunga, rampe dan uang. Wadah lengis dibuat dengan reringgitan. Reringgitan merupakan lambang ketulusan hati, bunga sebagai lambang kesucian hati, rampe dan minyak wangi sebagai lambang alat perangsang pikiran kearah pemusatan untuk mengubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Fungsi Canang burat wangi ini dalam Tari Lelegongan adalah melambangkan keikhlasan. Sedangkan ayunan dan buah-buahan berfungsi sebagai persembahan berupa suguhan makanan dan buah-buahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan air, tuak, arak dan berem adalah persembahan yang diberikan para bhuta kala supaya tidak mengganggu jalannya upacara. (Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008)
4.3 Fungsi Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem
Umat Hindu di Bali sangat kaya akan ritual/upacara serta warisan budaya. Setiap pelaksanaan upacara keagamaan yang dihiasi oleh rangkaian iringan tari-tarian, kekidungan atau tetabuhan tentu memiliki fungsi dan tujuan. Secara umum setiap pelaksanaan upacara yang diiringi oleh tari-tarian berfungsi untuk memberikan nilai keindahan, mempertinggi nilai religius. Terkait dengan Tari Lelegongan dalam upacara Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik berikut akan diuraikan fungsi Tari Lelegongan tersebut.
4.3.1 Sebagai Pemersatu Masyarakat Desa Pakraman Culik.
Desa Pakraman Culik adalah salah satu Desa Pakraman yang terdiri dari berbagai warga atau soroh. Warga atau soroh tersebut antara lain : Warga Ki pasek Aan, Warga Pangeran Tangkas, Warga Arya Kebon Tubuh, Warga Arya Gajah Para, Warga Peminggir, Warga Poh Tegeh, Warga Arya Tegeh Kori, Warga Pulasari atau sentanaan Sira Dalem Taruk, Warga Pasek Tulamben, Warga Pande, Warga Arya Keling, Warga Pasek Tutuan, Warga Pasek Kubakal, Warga Pasek Batugiang, Warga Pasek Gelgel, Warga Karang Buncing dan Warga Kuta Waringin (Pasek, wawancara tanggal 26 Agustus 2008).
Dalam pelaksanaan Tari Lelegongan ini para penari dari berbagai warga atau soroh ini saling bahu-membahu dalam membuat banten atau sarana yang akan dibawa dalam pementasan Tari Lelegongan tersebut. Dari sini dapat dilihat bahwa dengan adanya pementasan Tari Lelegongan ini mereka menanamkan rasa persatuan yang mendalam antara warga/soroh yang satu dengan warga/soroh yang lainnya.
4.3.2 Sebagai Salah Satu Pengantar/Pelengkap Upacara Yadnya
Masyarakat Bali pada umumnya telah dikenal memiliki aktivitas upacara keagamaan dalam frekwensi yang tinggi. Upacara-upacara yang dimaksud digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca Yadnya yaitu :
1) Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kehamilan sampai Dewasa.
2) Pitra Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur, dan terdiri atas serangkaian upacara, dari upacara kematian sampai pada penyucian roh leluhur.
3) Dewa Yadnya, yakni upacara yang ditujukan kehadapan Tuhan dengan segala manifestasiNya.
4) Rsi Yadnya, yakni upacara yang berhubungan dengan pentasbihan pendeta.
5) Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta dan kala (Tim Penyusun, 1995 : 1).
Setiap pelaksanaan upacara yadnya di Bali tidak jarang memakai seni tari. Seni tari memiliki hubungan yang erat dengan upacara keagamaan.
Tari Lelegongan sebagai bagian dari salah satu tarian, mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara yadnya tertentu di Bali khususnya di Desa Pakraman Culik. Tari Lelegongan ini dipentaskan dalam sebuah upacara Dewa Yadnya yaitu pada Piodalan di Pura Puseh.
Tari Lelegongan bukan satu-satunya pengantar yadnya di Desa Pakraman Culik, di samping Tari Lelegongan terdapat tari lain yaitu Tari Rejang Dewa yang dipentaskan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik. Apabila Tari Lelegongan tidak dipentaskan pada saat upacara Piodalan yang berlangsung di Pura Puseh, yadnya dirasakan kurang lengkap oleh masyarakat Desa Pakraman Culik. (Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008)
Demikianlah fungsi yang dapat dipaparkan dari pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
4.4 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang dapat dipetik dari pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem
Bagi manusia nilai dianggap sebagai landasan, alasan dan motivasi dalam segala tindakannya, dan di dalam pelaksanaannya nilai dijabarkan dalam bentuk norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan, anjuran yang merupakan kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan. Sedangkan segala sesuatu yang memiliki nilai tidak baik, tidak benar, dilarang untuk melaksanakan.
Pendidikan pada hakekatnya adalah membimbing dan mengajarkan orang untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin. Agama Hindu diturunkan ke dunia adalah untuk menuntun manusia untuk memperoleh tujuan hidup yang hakiki yaitu Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma ialah kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Maha Rsi Hindu pada jaman dahulu telah mewariskan berbagai metode pendidikan Agama Hindu, agar dapat dikhayati dan diamalkan oleh seluruh umat manusia dalam segala tingkatannya. Melalui Catur Asrama sebagai landasan konsep untuk belajar Agama Hindu. Catur Asrama berasal dari kata catur yang berarti empat dan asrama berarti usaha. Jadi Catur Asrama adalah empat tingkatan usaha yang harus dilakukan oleh seseorang baik bentuk maupun jenis usaha hidup yang harus dilakukan yaitu Brahmacari, Grehasta, Wanaprasta dan Sanyasa (Wiana, 1997 : 53). Brahmacari adalah suatu masa kehidupan berguna untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Grahasta artinya hidup berumah tangga, tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan artha (kekayaan) dan kama (keinginan). Sedangkan Wanaprasta dan Sanyasa adalah tujuan utama dalam kehidupan manusia yaitu mencapai moksa.
Jadi kalimat Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang berguna bagi manusia, dari usaha yang dijalankan sebagai daya upaya untuk meningkatkan kualitas manusia agar dapat memahami, meyakini, menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Hindu untuk dapat mencapai tujuan hidup yaitu sejahtera lahir dan bathin.
Sedangkan Piodalan di Pura Puseh seperti yang telah diungkapkan di depan adalah gerakan atau aktivitas disekeliling kehidupan manusia dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan sesamanya, dan mendekatkan manusia dengan lingkungan.
Dari paparan di atas dapat diungkapkan bahwa Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang dapat dipetik dari pementasan Tari Lelegongan Pada Piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Culik adalah sebagai berikut :
4.4.1 Pendidikan Kebersamaan
Untuk menjalin kerja sama dan keharmonisan diperlukan ketulusan hati dan kehalusan jiwa. Dari jiwa yang halus akan mengurangi sifat-sifat yang kasar dan keras. Kehalusan budhi merupakan pedoman untuk mendapatkan rasa kebersamaan. Dalam kebersamaan ini akan mendapatkan rasa kasih sayang yang mendalam, dari rasa keindahan, niat suci berdasarkan dharma akan memancarkan kasih sayang yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Pendidikan keindahan dan kebersamaan yang bersifat religius adalah sebagai alat perekat untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, membangun jiwa dengan sikap yang lembut sehingga perilaku masyarakat menjadi lebih tenang, damai dan pada akhirnya akan dapat melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata dan berbuat atas dasar kesadaran budhi dengan daya nalar yang rasional. Hubungannya dengan Tari Lelegongan adalah pada saat akan pementasan Tari Lelegongan, para penari yang terdiri dari berbagai warga/soroh ini secara bersama-sama menari dan saling bahu-membahu dalam membuat banten/sarana untuk pementasan Tari Lelegongan. Sehingga timbul rasa kebersamaan dan persatuan antara sesama penari Tari Lelegongan (Ardhyasa, wawancara tanggal 29 Agustus 2008).
4.4.2 Pendidikan Tattwa, Susila, dan Upacara
4.4.2.1 Pendidikan Tattwa
Tattwa artinya kebenaran, kebenaran yang mencakup hakekat Tuhan dalam alam semesta. Di Bali tattwa digunakan untuk menyatakan kebenaran itu. Cara memandang kebenaran itu berbeda-beda, perbedaan pandangan itulah yang menyebabkan adanya pengetahuan tentang tattwa berbeda-beda pula. Dalam buku Etika Hindu dan Perilaku Organisasi bahwa “tatwa merupakan uraian filosofi tentang ajaran-ajaran yang tersimpul dalam Panca Sradha” (Gorda,1996:30).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diungkapkan bahwa unsur pendidikan Tatwa (filsafat) dalam upacara Agama Hindu menyangkut tentang ajaran Panca Sradha. Tetapi tidak semua pembagian dari panca Sradha yang dapat dihubungkan dengan nilai pendidikan tattwa dalam Tari Lelegongan. Yang ada hubungannya dengan Tari Lelegongan adalah nilai pendidikan tattwa dari segi kepercayaan terhadap Brahman dan kepercayaan terhadap Karma phala. Dengan demikian pengungkapan nilai pendidikan tatwa (filsafat) dalam Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik adalah sebagai berikut :
Kepercayaan dan keyakinan umat manusia yang mendalam terhadap keberadaan Tuhan beserta manifestasi-Nya (Widhi Sradha), menjadi landasan konseptual bagi umat Hindu untuk melaksanakan Yadnya sebagai perwujudan cetusan rasa bhakti umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hubungannya dengan Tari Lelegongan adalah salah satu bentuk sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya sebagai pelengkap dalam upacara Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik Tari Lelegongan sebagai Pelengkap Piodalan merupakan suatu wujud keyakinan warga masyarakat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk mendapatkan keselamatan dan kerahayuan. Menurut penuturan Jro Mangku Wayan Merta (wawancara, 28 maret 2005). Dahulu pernah pada pelaksanaan Piodalan tidak menggunakan gamelan karena sesuatu hal, sehingga pada saat itu tidak dipentaskan Tari Lelegongan tersebut. Tetapi anehnya walaupun tidak ada gamelan tetapi para penari menari seakan-akan ada gamelan yang mengiringinya. Dari sini dapat kita ketahui bahwa walaupun tidak ada gamelan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ingin supaya ada pementasan dari Tari Lelegongan. Sehingga kebenaran dari Tari Lelegongan memang benar ada dan patut dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam melangsungkan hidupnya, umat manusia senantiasa melakukan bermacam-macam gerak dan aktivitas guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Segala macam gerak dan aktivitas tersebut dilakukan dengan cara baik atau tidak baik, secara sadar maupun tidak sadar. Menurut hukum alam segala macam sebab pastilah akan menimbulkan akibat. Demikian halnya suatu sebab yang berupa perbuatan pasti akan menimbulkan akibat berupa hasil perbuatan. Hukum rantai sebab akibat atau hasil perbuatan dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan karma phala. Dari uraian tersebut, dapat diungkapkan bahwa karma phala merupakan hukum sebab-akibat, siapa yang berbuat, maka secara otomatis mereka akan menikmati hasilnya. Baik buruknya perbuatan (karma) sangat menentukan baik buruknya hasil (phala). Kepercayaan dan keyakinan karma phala, menjadi dasar keimanan yang amat penting berpengaruhnya bagi sikap perilaku umat Hindu dalam segala kehidupannya. Hal ini mendorong setiap umat selalu berbuat berdasarkan dharma. Demikian juga, ditinjau aspek kepercayaan dan keyakinan terhadap karma phala, hubungannya dengan Tari Lelegongan adalah para penari percaya bahwa segala yang dilaksanakan atau dilakukan pasti memeperoleh hasil, mereka menari Tari Lelegongan dengan keikhlasan sebagai pelengkap upacara piodalan pasti nantinya memeperoleh hasil, baik di dunia maupun di akhirat.
4.4.2.2 Pendidikan Susila.
Etika/susila merupakan bagian dari kerangka dasar Agama Hindu. Dalam etika/susila diajarkan untuk menentukan perbedaan perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. “Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama” (Sura, 2001 : 38). Dalam kehidupan bersama itu orang harus mengatur dirinya bertingkah laku dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan serta tunduk kepada aturan bertingkah laku yang berlaku.
Ahli lain mengatakan bahwa etika memuat pengetahuan tentang kesusilaan. “Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisikan larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dalam etika juga akan tercermin ajaran perbuatan yang baik dan buruk. Perbuatan yang baik itulah mesti diikuti dan perbuatan yang buruk harus dihindari” (Oka Netra, 1994 :140).
Etika dalam ajaran Hindu termuat di dalam berbagai sastra suci Weda, Itihasa serta lontar-lontar yang ada di Bali. Terkait dengan pelaksanaan Tari Lelegongan Pada Piodalan di Pura Puseh jika dihubungkan dengan pendidikan etika sangat erat. Hubungan tersebut telah mentradisi sejak dulu sampai sekarang (Mangku Tara, Wawancara tanggal 27 Agustus 2008). Dengan timbulnya kepercayaan masyarakat Desa Pakraman Culik akan Tari Lelegongan. Maka setiap Piodalan di Pura Puseh pasti menggunakan gamelan sehingga Tari Lelegongan dapat dipentaskan. Pementasan Tari Lelegongan sebagai Pelengkap Piodalan menyadarkan masyarakat akan nilai seni dan keindahan untuk selalu mengendalikan diri agar jangan sampai lupa terhadap kebenaran dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tata susila dan etika.
4.4.2.3 Pendidikan Upacara
Secara etimologi upacara berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas “Upa” dan “Cara”. Upa berarti dekat, sedangkan cara berarti gerak atau aktivitas (Ngurah, 1999 :6). Upacara berati aktivitas manusia dalam menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang paling utama dan mulia. Manusia juga berbudaya dan memiliki kelebihan dengan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya (Koentjraningrat,1993 :5).
Bagi manusia sudah merupakan suatu kewajiban untuk menghormati segala sesuatu yang telah diciptakannya dengan cara melaksanakan upacara yadnya untuk keseimbangan alam semesta. Cetusan rasa hormat dapat dilaksanakan dengan berbhakti pada Beliau. Dalam mewujudkan rasa bhakti, manusia berusaha dan berupaya untuk dapat mewujudkan rasa bhakti, rasa kasihnya kehadapan Tuhan yang telah menciptakan alam semesta berserta isinya.
Terkait dengan Tari Lelegongan, nilai pendidikan upacara dapat dilihat dari pelaksanaan Tari Lelegongan tersebut yang tidak terlepas dari kegiatan keagamaan di Pura Puseh. Rangkaian kegiatan keagamaan dilengkapi dengan sarana upakara, baik berupa banten ataupun alat-alat lain yang digunakan sebagai penunjang upacara. Pada saat pementasan tarian ini membawa beberapa sarana yaitu antara lain : canang burat wangi, ayunan, buah-buahan, air, arak, tuak dan berem (Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008).
4.4.3 Pendidikan Apresiasi Seni dan budaya
Hal ini dapat dirasakan oleh para penari, karena dengan seni tari mampu menambah kekhusukan dan kekhidmadan. Suasana kesucian membantu kesungguhan hati para penari dalam sujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya. Lewat keindahan tari dari sudut artistik, kerohanian, kreasi seni khususnya Tari Lelegongan mempunyai pengaruh langsung terhadap kepribadian yaitu kebahagiaan, kepuasan, keseimbangan, pertumbuhan, kreatifitas, kompetensi, watak, kebebasan, kondisi fisik, sosial dan sikap dari para penari akan tumbuh dan berkembangnya sikap kemandirian. Proses pembentukan kepribadian dari pementasan Tari Lelegongan dapat diwujudkan dari aspek keselarasan, kesucian, keseimbangan nilai yang dapat mendatangkan iklim persahabatan, mencintai sesama hidup dan dapat meningkatkan rasa kemanusiaan yang tinggi (Murtini, wawancara tanggal 30 Agustus 2008)
Demikianlah Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang dapat dipetik dari pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan Di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
4.5 Upaya Pelestarian Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem
Di dalam upaya pelestarian seni tari tidak bisa lepas dari unsur pembinaan baik pembinaan fisik maupun pembinaan spiritual dari suatu seni tari yang sudah ada. Berbicara mengenai pembinaan, akan selalu terkait dengan hal-hal seperti memelihara, menghidupkan, melanjutkan, membekali dan peningkatan kualitas khususnya Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh, Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
Memelihara adalah suatu hal yang terkait dengan sumber daya manusia, karena manusia banyak menentukan dalam upaya pemeliharaan suatu kehidupan seni tari dalam suatu wilayah, sesuai dengan perjalanan situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam memelihara seni tari khususnya Tari Lelegongan di Desa Pakraman Culik ditetapkan melalui pemunder Desa (Jro Mangku Merta, wawancara tanggal 28 Agustus 2008).
Melanjutkan adalah suatu upaya untuk tetap mementaskan Tari Lelegongan Pada setiap upacara Piodalan di Pura Puseh. Hal ini sangat terkait dengan faktor waktu, sumber daya manusia sebagai subjek. Suatu usaha untuk melanjutkan suatu pelestarian seni tari terkadang sering berpacu dengan waktu terhadap hal-hal yang sangat komplek yang sering berkembang dalam masyarakat. Dalam suatu situasi perkembangan teknologi dan ekonomi yang mengglobal sering menyebabkan tertundanya suatu upaya untuk melanjutkan suatu seni tari. Namun dengan melihat dan mengetahui nilai manfaat terhadap kehidupan manusia, maka upaya melanjutkan suatu seni tari khususnya Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik menjadi suatu keharusan dan kewajiban warga masyarakat yang beragama Hindu.
Menghidupkan adalah suatu upaya untuk menumbuh kembangkan serta memiliki daya tahan dan sanggup mewariskan nilai-nilai kesakralan dan manfaat yang dapat dipetik dari pementasan Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, baik manfaat bagi Desa Pakraman maupun manfaat bagi diri penari itu sendiri. Manfaat bagi Desa Pakraman adalah terwujudnya suatu upacara Piodalan yang sempurna karena sudah dipentaskannya Tari Lelegongan. Sedangkan manfaat bagi penari adalah terwujudnya kegembiraan dan kebahagiaan karena sudah mampu menyempurnakan suatu upacara Piodalan.
Oleh karena itu menghidupkan suatu seni tari sangat dibutuhkan suatu suasana yang komplek. Untuk mampu hidup dan berkembangnya suatu seni tari tergantung dari nilai-nilai seni untuk dapat diwariskan keberadaannya pada generasi selanjutnya. Untuk itu dituntut perhatian yang serius dari Pengurus Desa Pakraman untuk selalu mengacu dan memperhatikan generasi selanjutnya betapa besar manfaat seni tari dalam suatu upacara Agama Hindu. Membekali dan meningkatkan kualitas adalah suatu upaya memberikan pemahaman tentang seni tari pada umumnya dan Tari Lelegongan pada khususnya, pemahaman diberikan dimaksudkan agar seni tari tidak mengalami kepunahan dalam pertumbuhannya. punah berarti dilupakan atau tidak diindahkan orang, sesat adalah salah arah, oleh karena itu manfaat pembekalan di sini adalah untuk menghindari kepunahan dan kesesatan.
Sedangkan kualitas berarti mengenai nilai dan mutu. Nilai adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia baik secara material maupun spiritual. Sedangkan mutu adalah kualitas daya, gaya dan dinamika suatu seni. Unsur material adalah mengenai pertimbangan-pertimbangan material, jadi pembinaan unsur material dilihat dari unsur bentuk, rupa dan warna dalam hubungannya dengan pembekalan dan kualitas Tari Lelegongan. Mengenai bentuk masih tetap dari jaman ke jaman sedangkan rupa dan warna ada proses peningkatan sesuai dengan keadaan pada saat pementasan Tari Lelegongan. Sedangkan mengenai manfaat spiritual adalah manfaat rohani bagi penari khususnya maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Bagi penari yaitu timbulnya rasa bahagia yang menimbulkan rasa kasih dan persaudaraan, dan pada akhirnya terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
Jadi dengan paparan di atas pelestarian Tari Lelegongan di Desa Pakraman Culik melalui pemeliharaan melanjutkan, menghidupkan serta memberi pembekalan pada generasi selanjutnya secara berkelanjutan. Sehingga setiap Piodalan di Pura Puseh dapat dipentaskannya Tari Lelegongan dengan sempurna.
Dengan demikian dapat dirumuskan upaya pelestarian dari Tari Lelegongan adalah sebagai berikut :
1) Memelihara adalah suatu upaya untuk dapat mementaskan Tari Lelegongan pada setiap Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem dengan menetapkannya dalam Pemunder Desa Pakraman.
2) Melanjutkan adalah suatu upaya untuk meneruskan kepada generasi selanjutnya melalui wejangan-wejangan tentang Tari Lelegongan dan bimbingan dari generasi pendahulunya, dengan tidak menghilangkan ciri dan bentuk tarian tersebut yang merupakan salah satu dari pelengkap Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik.
3) Menghidupkan adalah suatu upaya untuk menumbuh kembangkan Tari Lelegongan tersebut dengan mempertahankan nilai-nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Baik manfaat bagi masyarakat maupun manfaat bagi Desa Pakraman. Manfaat bagi Desa Pakraman adalah terwujudnya suatu upacara Piodalan yang sempurna karena sudah dipentaskannya Tari Lelegongan. Sedangkan manfaat bagi penari adalah terwujudnya kegembiraan dan kebahagiaan karena sudah mampu menyempurnakan suatu upacara Piodalan.
4) Memberi pembekalan adalah suatu upaya untuk memberi pemahaman tentang Tari Lelegongan supaya tidak mengalami kepunahan dalam pertumbuhannya. Punah berarti terlupakan atau tidak diperhatikan orang. Untuk menghindari kepunahan maka perlu pembekalan dengan memberikan penjelasan, pengertian serta manfaat dari Tari Lelegongan terhadap Piodalan di Pura Puseh kepada generasi selanjutnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
5.1 Kesimpulan
Bentuk Tari Lelegongan adalah sebagai berikut : penarinya adalah para perempuan yang sudah menikah, pakaian yang digunakan menari adalah pakaian adat sembahyang, gerakannya adalah gerakan yang biasa yang hanya terdiri dari agem dan tanjek.
Fungsi Tari Lelegongan ini adalah sebagai pemersatu masyarakat Desa Pakraman Culik yaitu dengan cara bersama-sama menarikan Tari Lelegongan dan juga dalam pembuatan banten atau sarana-sarana yang digunakan dalam menunjang pelaksanaan Tari Lelegongan tersebut dan juga sebagai pelengkap upacara yadnya karena tanpa di pentaskannya Tari Lelegongan maka piodalan dirasakan kurang lengkap.
Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang dapat dipetik dalam pementasan Tari Lelegongan ini adalah pendidikan kebersamaan dimana para penari secara bersama-sama menarikan Tari Lelegongan dan saling bahu-membahu dalam membuat banten/sarana yang dibawa dalam pementasan Tari Lelegongan. Pendidikan tattwa, susila, dan upacara dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Desa pakraman Culik tentang keberadaan Tari Lelegongan yang dipergunakan sebagai pelengkap dalam upacara piodalan di Pura Puseh. Sedangkan pendidikan apresiasi seni dan budaya dapat dirasakan oleh para penari yang dapat mewujudkan kreasi seni yang merupakan suatu kebanggaan dari pada para penari.
Sedangkan upaya pelestarian dari Tari Lelegongan ini adalah memelihara, melanjutkan, menghidupkan dan memberi pembekalan tentang Tari Lelegongan sehingga Tari Lelegongan akan tetap ada sepanjang jaman dan tetap dipergunakan sebagi pelengkap dalam upacara Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
5.2 Saran-saran
5.2.1 Tari Lelegongan pada Piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Culik perlu dilaksanakan dan dilestarikan, karena di samping sebagai pelengkap upacara keagamaan juga memiliki manfaat bagi penari maupun masyarakat Desa Pakraman Culik secara keseluruhan.
5.2.2 Untuk lembaga, perlu memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang manfaat dan fungsi Tari Lelegongan yang dipentaskan pada Piodalan Di Pura Puseh Desa Pakraman Culik, Kecamatan abang, Kabupaten Karangasem.
5.2.3 Untuk masyarakat dan penari Tari Lelegongan Desa Pakraman Culik, dalam pelaksanaan Tari Lelegongan diharapkan dapat mewujudkan penanaman Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu melalui yadnya yang dapat ditransformasikan kepada generasi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, 1999, Metodologi Penelitian Suatu Pengantar Ringkas, Singaraja : IKIP.
Anandakusuma, Sri Reshi, 1986. Kamus Bahasa Bali-Indonesia, Surabaya : CV. Kayu Mas Aging.
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta : Rhineka Cipta.
Artika, 1990. Pendidikan Seni Tari Untuk SMTA, Singaraja: Depdikbud.
Bandem, 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi, Yogyakarta : Institut Seni Indonesia.
Dantes, I Nyoman, 1992. Pedoman Menulis Karangan Ilmiah, Singaraja : STKIP Singaraja.
Darmodiharjo, Dardji, 1981. Sanitasi Pancasila Laboraturium Pancasila, Malang : IKIP Malang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Kurikulum Pendidikan Dasar, Jakarta : Depdikbud.
, 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar, Jakarta : Depdikbud.
, 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas RI.
Dwija, I Wayan, 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan, Amlapura : STKIP Agama Hindu.
Ghoni, Muhammad Djunaidi, 1982. Nilai Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Gorda, I Gusti Ngurah, 1994. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi, Denpasar: Widyakriya Gematama.
,1996. Etika Hindu dan Perilaku Organisasi. Singaraja : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma Singaraja.
, 1999. Manajemen dan Kepemimpinan Desa Adat di Provinsi Bali, Denpasar : Widyakrya Gematama.
Hartati, dkk, 1982. Ilmu Keguruan Pendidikan Nasional, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hasan, Iqbal, 2002. Pokok-Pokok Materi Penelitian Dan Aplikasinya, Jakarta: Indonesia Ghalia.
Husani Usman, dan Purnomo Setiadi, 1996. Metode Penelitian Sosial, Jakarta:Bumi Aksara.
Koentjaraningrat, 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lexy. J Moleong, 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Mahfud, 2006. Pendidikan Multi Kultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mandra, Aryasa Wayan, 1995. Materi Pokok Tari Sakral, Jakarta : Universitas Terbuka
Musna, I Wayan, 1994. Kamus Agama Hindu, Denpasar : Upada sastra.
Nasir, Moh.1988. Metodelogi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nawawi, Hadari, 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ngurah, I Gusti Made, 1999. Buku Pendekatan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya : Paramitha.
Oka Netra, A.A. Gede, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Parisadha Hindu Dharma Pusat, 1982. Ajaran-ajaran Agama Hindu, Denpasar : PHDI
Poerwadarminta, 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Pudja, I Gede, 1978. Manawa Dharma Sastra, Weda Smerti, Jakarta: Departemen Agama RI.
, 1984. Bhagawad Gita. Jakarta : Maya Sari.
Punyatmadja, 1976. Silakrama, Denpasar: Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Putra, I Gusti A. Mas, 1979. Upakara Yadnya, Denpasar : IHD.
, 1998. Panca Yadnya, Surabaya : Paramitha.
Saifuddin, Azwar, 1997. Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002. Metodologi Penelitian, Bandung : Mandar Maju.
Sudarsana, Ida Bagus, 2005. Upacara Dewa Yadnya, Denpasar : Yayasan Dharma Acarya.
Sugiyono, 2002. Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta.
Sugono, Dendy, 2006. Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sura, I Gede, 2001. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti.
Suryabrata, Sumadi, 2003. Metode Penelitian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta : Pt Radja Grafindo Persada.
Sutrisno, Hadi, 1986. Statistik Jilid II, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGRA.
Swarsi, 2003. Upacara Tradisional Piodalan Alit di Sanggah/Merajan, Denpasar : Badan Kebudayaan dan Kepariwisataan Bali.
Syah, M, 1995. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung : Upada Sastra
Tim Penyusun, 1995. Panca Yadnya, Denpasar : Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat.
, 1988. UUD 1945, Jakarta : Depdikbud
Tim Abdi Guru, 2004. Kesenian Untuk SMP Kelas VII, Jakarta : Erlangga.
Titib, I Made, 2001. Theologi Dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramitha.
Vembiarto,1994. Kamus Pendidikan, Jakarta : Gramedia Widya Sarana.
Wiana, I Ketut, 1997. Cara Belajar Agama Hindu Yang Baik, Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
, I Ketut, 2002. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramitha.
Wirnata, Ida Komang, 2007. Bahan Ajar Seni Sakral, Amlapura : STKIP Agama Hindu.
Yudabakti, I Made & Watra, I Wayan, 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali, Surabaya : Paramita
Zuriah, Nurul, 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar